Sultan Agung dan Wikipedia
Di Indonesia, gambaran tentang warga negara Kerajaan Belanda sebelum tahun 1945 dalam karya-karya fiksi termasuk film adalah selalu serupa dan seragam, yaitu sosok penjajah yang keji dan ingin memperbudak bangsa lain. Belanda pastilah penjajah, sekalipun pada suatu periode zaman ketika mereka belum berada dalam posisi menjajah. Hal ini juga muncul di film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta besutan Hanung Bramantyo yang edar tahun 2018 lalu dan kini bisa bebas kita inceng lewat layanan streaming Netflix.
Sebagaimana judunya, film ini berkisah soal Sultan Agung (Ario Bayu, dengan sultan muda diperankan Marthino Lio), raja terbesar Kesultanan Mataram yang saat muda menggunakan nama Raden Mas Rangsang atau Raden Mas Jatmika. Di pelajaran sejarah sekolah, namanya kita hapalkan saat ada pertanyaan “Pada tahun berapa sajakah Sultan Agung menyerang VOC di Batavia?”.
Cerita dibuka saat Mas Rangsang abege masih “sekolah” di Padepokan Jejer yang dibina ulama sakti Ki Jejer (Deddy Soetomo dalam penampilan terakhirnya). Di sana, ia yang tak diketahui jati diri aslinya sebagai putra penguasa Mataram Panembahan Hanyakrawati, paaran dengan “teman sekelas”-nya, Lembayung (Adinia Wirasti; dengan versi abege diperankan Putri Marino).
Menyusul konspirasi yang dilakukan Ratu Tulung Ayu (Meriam Bellina) terkait wafatnya Panembahan Hanyakrawati untuk mempercepat suksesi ke tangan putranya, Pangeran Martapura, Mas Rangsang terpaksa mau dinobatkan sebagai raja dengan gelar Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Ia awalnya enggan menerima tugas itu karena perasaan cintanya yang begitu mendalam pada Lembayung. Namun panggilan negara membuatnya pada akhirnya tunduk. Ia dilantik menjadi raja dan harus menikah dengan Ratu Batang (Anindya Putri).
Sesudah itu, seluruh energi cerita dihabiskan untuk memperjelas pelajaran sekolah soal invasi militer Mataram ke Batavia, yang dilandasi atas semangat patriotik untuk “mengusir penjajah keji yang akan memperbudak” serta “mempersatukan Nusantara”. Sultan Agung mengirim ekspedisi militer 350 kilometer ke barat, harus menghadapi sikap opisisi Pangeran Natapraja (Lukman Sardi), dan bersirobok kembali dengan first love yang ikut ke Batavia untuk mencari sang kakak yang pergi dari rumah dan tak kembali.
Perjumpaan pertama Sultan Agung sendiri dengan orang-orang VOC terjadi tak lama setelah ia dilantik, di mana ia diberi kabar bahwa “akan ada tamu”. Mereka tak lain adalah utusan-utusan Jan Pieterzsoon Coen, yang menghadap raja Jawa sambil berdiri dan menenteng-nenteng senjata api untuk minta izin membuka kantor dagang di Jepara. Sultan Agung yang sudah tahu siapa mereka dari “pelajaran sekolah” Ki Jejer, menyambut dingin dan menyita senjata-senjata mereka untuk direka ulang oleh para siswa di Padepokan Jejer.
Karya seni fiksi termasuk sinema tentu adalah soal interpretasi. Saat menyusun kisah berlatar sejarah, sang seniman bebas dan justru harus menciptakan interpretasi atas segala aspek di dalamnya sesuai ide kreatif masing-masing. Malah justru ganjil ketika sebuah film memotret 100 persen plek fakta sejarah tanpa bumbu fiksionalisasi dan pemaksaan ulang apa pun. Hanung dan tim penulisnya pun bebas menentukan interpretasi apa yang akan diterapkan baik pada sosok Sultan Agung dan karakteristiknya maupun pada keseluruhan alur cerita di film.
Namun menempuh rute yang terlalu mainstream berdasar semangat nasionalisme Republik Indonesia dan dalam kapasitas Sultan Agung sebagai pahlawan nasional oleh SK Presiden nomor 106/TK/1975 tertanggal 3 November 1975 membuat “Sultan Agung” tak menawarkan kebaruan apa pun. Ya semua sudah tahu ia bertahta dari 1613–1645, menyerang Batavia dua kali pada 1628 dan 1629, ia raja terbesar Mataram, dan saat mangkat digantikan oleh Sunan Amangkurat. Sementara masih ada banyak sisi lain seorang Sultan Agung yang jauh lebih menarik untuk diungkap andai para penulis Hanung membaca buku-buku sejarah terutama karya De Graaf atau, setidaknya, baca entri tentang Sultan Agung, Kesultanan Mataram, dan Siege of Batavia di Wikipedia.
Misalnya fakta bahwa ia bukanlah raja ketiga, melainkan keempat, dari Kesultanan Mataram. Ia tidak menggantikan mendiang ayahnya, melainkan saudara seayah lain ibu, yaitu Pangeran Martapura. Putra Ratu Tulung Ayu yang berkebutuhan khusus itu dilantik sebagai raja dengan gelar Adipati Martapura, tapi ia hanya bertahta selama sehari, karena memang hanya demi formalitas memenuhi wasiat Panembahan Hanyakrawati. Fakta menarik lain adalah bahwa Panembahan Hanyakrawati lah yang mengizinkan VOC mendirikan pos dagang di Jepara, tepatnya tahun 1613 sebelum ia wafat di Krapyak. Jadi saat Sultan Agung naik tahta, Mataram sebenarnya sudah berkontak dagang dengan VOC meski dalam situasi yang serba saling dipenuhi kecurigaan.
Dan pada periode itu, Coen dan VOC-nya belumlah menjadi penjajah, karena mereka baru sepenuhnya merebut Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia tahun 1619. Dan kekuasaan mereka baru sebatas kota itu, karena tepat di pintu belakang, Kesultanan Banten masih merupakan negara merdeka yang kuat. VOC bisa dibilang baru memulai perannya sebagai kolonis ekspansionis ketika mereka berhasil meneken perjanjian damai dengan Sunan Amangkurat tahun 1646. Dan sesudah momen itu, catatan resmi VOC menyebut ketakjuban bahwa kemudian mereka bisa bebas berkeliaran di luar tembok benteng Batavia. Sebelumnya, pada masa perang saat Mataram, negara adidaya di timur itu, masih menjadi musuh, nekad keluyuran adalah sama saja bunuh diri.
Nukilan kisah kecil ini ada di buku Runtuhnya Istana Mataram oleh De Graaf. Kisah film Sultan Agung pasti akan jadi beda andai referensi bacaan tim penulis Hanung sampai ke sini dan tidak melulu berdasar buku-buku pelajaran sekolah.
Namun kisah sejarah paling yahud yang harusnya dituang dalam film laga kolosal ini adalah latar belakang invasi Mataram ke Batavia. Tidak berkenaan dengan niat tekad bulat patriotik nasionalistik mengusir penjajah, peristiwa itu jutru terkait ambisi ekspansi Mataram menyatukan seluruh Jawa. Di timur, musuh terbesar dan terberat Sultan Agung adalah Surabaya, yang belum pernah bisa ditaklukkan bahkan semenjak berdirinya mataram oleh kakeknya, Senapati ing Alaga. Relasi dagang serta diplomatik antara Mataram dan VOC memburuk setelah Gubernur Jenderal Coen menolak permintaan Mataram untuk diajak bersekutu menyerang Surabaya.
Lalu, setelah Surabaya berhasil direbut dengan kekuatan sendiri pada tahun 1625, Mataram mengalihkan perhatian ke barat. Dan Batavia diinvasi tak semata niat mulia nan suci “membebaskan bumi Pertiwi dari tangan penjajah”, melainkan sebagai prolog sekaligus batu loncatan menuju musuh terbesar Mataram di barat, yaitu Banten. Berhasil menduduki Batavia akan menghasilkan keuntungan masif bagi Mataram. Selain menjadi batu pijakan yang brilian untuk upaya penghabisan pan-Java menaklukkan Banten (hanya yang pernah main game Europa Universalis atau Romance of the Three Kingdom III: Destiny of the Dragon pasti paham urusan geopolitik seperti ini), kepemilikan atas Batavia akan sekaligus membuat Mataram mengambil alih monopoli atas perdagangan rempah di Nusantara yang selama beberapa tahun itu sepenuhnya dikendalikan VOC.
Seperti itulah jika politics is politics, sebagaimana yang dituang oleh George R.R. Martin di serial novel A Song of Ice and Fire dan kemudian diadaptasi dengan jitu oleh David Benioff dan D.B. Weiss ke layar kaca menjadi Game of Thrones. Di medan politik hanya ada politikus. Dan di palagan perang hanya ada tentara. Keduanya bekerja dengan metode kerja yang serupa: adu cerdik main taktik untuk saling mengalahkan. Tak ada tokoh putih, tokoh angkara murka, atau niat murni dari hati yang suci untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Yang ada hanya, itu tadi, adu cerdik memainkan bidak-bidak seperti pemain catur.
Dengan terlalu fokus “menerangkan pelajaran sekolah” yang warga se-Indonesia sudah pada tahu, Sultan Agung kehilangan potensi pengisahan itu. Hasil kerja yang elegan di sisi sinematek dan akting, yang semuanya bisa dipelajari di jurusan sinematografi institut-institut kesenian, menjadi kurang maksimal. Dan itu masih ditambah dengan kebiasaan sebagian kreator seni kita untuk menghadirkan kisah fiksi berlatar sejarah tapi dengan cara pandang dan cara berpikir modern masa kini. Mata yang teliti pasti akan menemukan beberapa hal yang mau tak mau akan jadi terasa aneh.
Ratu Tulung Ayu mangkel karena Panembahan Hanyakrawati menikah lagi dengan Ratu Banowati (Christine Hakim)? Para abege tahun 1610-an bebas cinta-cintaan seperti makhluk Planet Bumi sesudah tahun 1950-an dan lantas patah hati karena “dipaksa menikah dengan calon pilihan ortu”? Sultan Agung membina keluarga kecil bahagia sejahtera dengan Ratu Batang dan Raden Mas Sayidin?
Dan ada pula adegan Ratu Banowati makan manggis pakai garpu stainless steel. Barangkali garpunya dia ambil dari warung mi ayam terdekat!
Di sisi lain, sang sultan yang adalah seorang tentara kombatan sejati digambarkan sebagai pribadi yang emosional dan dramatis. Kala invasi pertama gagal total, ia bahkan sampai kalap kehilangan kendali diri dan harus ditenangkan para staf. Sementara itu, 372 tahun kemudian, Dino Zoff ya memang terpukul, tapi tetap fine-fine aja meski Italia kalah tragis setragis-tragisnya dari Prancis di final Euro 2000 oleh gol Sylvain Wiltord yang menyamakan kedudukan menjadi 1–1 padahal pertandingan hanya tinggal tersisa 30 detik.
Sultan Agung juga tercederai oleh kekurangtelitian teknis di beberapa sisi. Selain kekeliruan penggunaan motif kain batik yang membuatnya dikritik salah satu putri Keraton Yogya bahkan jauh sebelum filmnya beredar, Hanung juga tak melengkapi tim kerjanya dengan penulis yang sungguhan bisa menulis dengan baik dan benar. Andai penulisnya bisa menulis, atau ditemani editor bersertifikat, pastilah tulisan main title yang muncul di penghujung film sesudah adegan pemakaman Sultan Agung bukan Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta melainkan Sultan Agung: Takhta, Perjuangan, dan Cinta (terasa bedanya tak?).
Lalu nama Dr. BRA Mooryati Soedibyo tak akan ditulis “Eksekutif Produser” melainkan “Produser Eksekutif” atau sekalian aja pakai bahasa Inggris jadi “Executive Producer”. Tim penulis Hanung pasti anak-anak yang sama dengan yang terbiasa ngetik “sosmed” dan “konten kreator” di medsos (medsos ya, bukan sosmed!).
Untung masih ada Putri Marino dan Adinia Wirasti, yang wajah mereka sangat cocok dengan nuansa kejawaan abad ke-17. Akting Ario Bayu sendiri harusnya akan jauh lebih impresif andai Sultan Agung bisa dipotret cool dan trengginas seperti Jon Snow, atau yang mengandung aura divinity nan dahsyat seperti penggambaran Arswendo Atmowiloto terhadap tokoh Kertarajasa Jayawardhana di Senopati Pamungkas, dan bukannya yang dikit-dikit emosian dan terguncang, lalu tengah malam mengigau keringetan karena galmov pada sosok first love dari zaman sekolah!
Sultan Agung seharusnya bisa tampil lebih nendang andai seluruh dialognya didesain menggunakan bahasa Jawa ketoprakan (seperti yang ditampilkan grup ketoprak Among Mitra Berbah atau PS Bayu di acara ketoprak Mataram TVRI Stasiun Yogyakarta tahun 1970-an hingga 1990-an). Jadi hasrat terpuji untuk “nguri-uri kabudayan Jawi” tak sebatas menampak-nampakkan tari dan macapat di frame, melainkan juga dengan pemberdayaan penulis ketoprak. Sayang Ario Bayu dan kawan-kawan bicara bahasa gado-gadi Jawa dan Jakarta, sehingga mereka terlihat seperti orang-orang yang sedang belanja di gerai minimarket di kota-kota kecamatan Jawa Tengah!
Namun di luar semua ulasan dan diskusi, menyaksikan penampilan Deddy Soetomo sebagai Ki Jejer adalah sebuah momen yang berharga. Saat penggarapan film ini, Deddy sudah berusia 78 tahun. Sultan Agung sekaligus adalah film terakhirnya (satu lagi film yang tercatat dalam filmografinya adalah Everyday is a Lullaby), yang dirilis ketika ia sudah empat bulan meninggal. Bagiku, ia masih sama brilian dalam berakting seperti saat hadir di serial Rumah Masa Depan dan Keluarga Rahmat, nun jauh pada masa lalu saat sinetron-sinetron masih so good dan so nice.